Sabtu, 11 Juni 2011

The Unsung : The Left Behind

Aku masih ingat hari itu. Lagipula, bagaimana mungkin aku dapat lupa. Hari dimana bintang-bintang rajin berguguran di malam nya yang hangat. Keluarga ku pun masih berkumpul lengkap, di rumah kecil berdinding kayu dan beratap merah sewarna daun di musim rontok. Berdiri di sisi hamparan ladang jagung yang memang mendominasi lanskap desa kami, dengan sebuah danau kecil diantara halaman nya dan jalan beraspal besar yang membelah seluruh desa, menghubungkan langsung dengan Ridell, kota terdekat dengan kami. 
Masih lekat juga harum nya masakan makan malam ibu yang semerbak hingga ke kotak pos kecil di ujung halaman, atau senyuman ayah setiap kali aku dan ketiga adik ku menjemput nya pulang di ujung ladang, juga tentang cerita cerita heroik kakek pada Dinas Angkatan Lautnya semasa muda. Seperti kebanyakan keluarga petani di desa, keluarga kami bukanlah keluarga berkecukupan. Bahkan sering kekurangan. Meski demikian, aku bersyukur terlahir di sana. Karena setiap hari, di tengah tengah kehangatan nya, aku selalu merasa memiliki banyak hal yang tidak dimiliki orang lain. Mereka adalah segalanya. Segalanya. Hingga hari itu, hari terakhir di penghujung musim panas yang terik.

Sebenarnya sekolah sedang libur, namun ajakan membersihkan kolam renang sekolah yang di buka untuk umum selama musim panas benar benar menggiurkan. Biarlah kakak-kakak dan adik-adikku di rumah, membantu ibu atau sekedar menemani kakek, bersantai di ayunan yang tergantung pada pohon besar di halaman, atau sekedar nonton tv dan tidak di luar dalam cuaca sepanas ini. Bermain di kolam yang dikuras habis memang menyenangkan, 40% bermain hoki dengan sabun sebagai bolanya, 70 % bersih bersih, atau mungkin juga sebaliknya. Bagian terbaik nya adalah, jatah snack dan se-baskom besar limun dingin yang jadi menu tetap laskar pembersih.
Matahari sedang giat giatnya bersinar terik selagi kutuntun pulang sepedaku, ujung jalan beraspal membias akibat panas. Berulang kali ku seka peluh dengan lengan kaos lembab ku. Sekolah hanya ada di kota Ridell, mulai SD hingga SMU. Tiap hari para murid dari desa pergi sekolah dengan menaiki Bus, Mobil sendiri, Motor atau Sepeda menyusuri jalan beraspal sejauh 2 KM. jalur ini sangat menyenangkan semasa musim semi, namun akan berubah menjadi neraka di musim panas, seperti sekarang ini.
Udara panas serasa mencekik tenggorokan. Kuabaikan saja Henry, teman sekelasku, yang sejak tadi mengoceh panjang lebar tentang banyak hal yang aku sendiri tidak paham. Tentang politik, masalah keamanan lah, tentang perang lah, dan banyak lagi yang makin ku tak mengerti maksudnya kemana. Entah karena panas, atau mungkin kerasukan setan orator mana aku sendiri tidak yakin. Yang jelas bocah di 11 tahun di sebelahku ini terus saja mengoceh tidak perduli teriknya sore. Henry terlahir dengan bakat menyimak yang luar biasa fokus nya. Abang tertua nya berdinas di AD, acara kesukaan nya sekarang salah satu nya Liputan mungguan mengenai militer, selain berita dan National Geographic. Sedang aku masih rajin nonton Anime atau komedi lepas magrib. Dan sejak tadi, bocak kurus berambut ikal hitam ini terus bercerita mengenai genting nya kondisi Negara, yg mana abang nya sudah berangkat ke perbatasan, tentang kedaulatan Negara kami, nasionalisme, kemungkinan perang. Aku sama sekali nggak nyambung.

Lagi pula apa sih peperangan itu, tiap kali ku Tanya ayah tentang apa dan mengapa orang orang harus berperang, jawabannya singkat saja “ kamu yang sekarang tidak akan terlalu mengerti..”. sudah, cuma itu saja. Sehingga, pada masa itu, peperangan bagi ku tidak lebih dari sebuah kejadian di tempat yang jauh, yang di siarkan di TV, dan membuat orang-orang dewasa berdebat hebat di TV. Henry terus berceloteh, aku terus menenggak botol minumku. Panas, haus.
Tiba tiba, terdengar suara samar-samar di kejauhan. Mulanya tidak terlalu jelas,, namun makin lama makin jernih terdengar. Suara bergemuruh seperti petir di atau sebangsa nya. Kami berhenti, Henry pun ikut terdiam.
Aku menggeleng saja sewaktu Henry bertanya apa akan terjadi badai. Lagi pula mana mungkin terjadi badai selain di musim salju. Kalau pun akan terjadi Angin topan, bukan seperti ini gejalanya. Saat suara itu kian mendekat, terdengar pula suara denging lirih yang melatari nya. Langit sedang membiru cerah, tetapi suara gemuruh besar itu membuat seolah sedang terjadi badai. Lalu aku tersadar, kalau yang kudengar adalah suara mesin. Mesin yang yang sangat besar, bahkan lebih besar dari dari Traktor yang biasa di kemudikan ayah bila di dengar dari gemuruhnya.
Kemudian, Henry berteriak seraya menunjuk nunjuk kelangit. Mulanya aku tidak melihat apapun, namun garis garis berwarna putih muncul susul menyusul tak lama berselang dari arah utara. Makin lama makin banyak jumlahnya. Seolah ada yang mencoret coreti langit biru dengan guratan guratan putih beraturan. Dan entah sejak kapan, guratan guratan yang kurang lebih sejenis muncul juga dari arah berlawanan. Hingga kedua ujung nya yang terus bergerak maju itu, kini saling songsong. Guratan yang berpangkal di utara menang dalam jumlah, terus menjulur kearah Ridell, melewati kami.



“ itu pesawat…”. Ucap Henry tidak percaya. Aku pun sulit percaya, selain tidak ada lapanngan terbang di dekat sini, jarang sekali ada pesawat terbang rendah melewati ladang ladang kami. Apa lagi sebanyak ini. Bunyi gemuruh itu makin jelas merobek robek sore yang tenang. Tanpa buang waktu, kuperintahkan Henry lompat ke boncengan belakang sepeda ku dan mengayuhnya kencang. Aku harus pulang, Cuma itu saja yang terpikir oleh ku. 
Baru beberapa kayuhan ketika suara gemuruh itu berubah menjadi dentuman dahsyat. Aku yang terkejut kehilangan arah dan sepeda pun terjerembab ke sisi jalan, ke pinggir ladang jagung. Belum sempat bangun dan sadar sekeliling, Henry seketika menyeret ku menjauhi jalanan, merangsek ke ladang di sisi kami, merunduk ke tepi sementara dentuman dentuman besar terdengar semakin ramai dan dekat dari arah Kota Ridell. Aku spontan saja mengikuti Henry yang tiarap dan menutup kedua telinga nya, tanah serasa berguncang tiap kali dentuman terdengar menembus rapat nya jari jari kami. Meraung lamat lamat suara sirine  di kejauhan mana. kebingungan dan ketakutan berjejal di benak ku sementara suara mesin mesin pesawat itu terdengar makin rendah, dan suara ledakan berdentuman bersahutan. Wajah ku memutih seperti mayat, mataku kupejam erat.

Apa yang terjadi?.
Bunyi apa tadi?
Apa tadi itu pesawat? Atau Bom?

Bagaimana dengan keluargaku?.
Apakah ini perang?.
Kenapa terjadi di sini?.

Henry yang seolah mengerti ekspresi pucat pasi ku, mendekat dan berteriak “jangan takut…semua akan baik baik saja…”. Dengan wajah yang sama pucat nya dengan ku.

Tiba tiba saja terdengar suara menderu melewati kami dengan cepat. Dua kali dengan jeda yang singkat, dengan hempasan seperti angin menyisir hamparan ladang di sekeliling kami. disertai letusan  bertubi tubi yang membuat nyali kami makin kerdil. Garis letupan itu, hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami tiarap.
Pesawat! Jelas sekali!
Teriak ku dalam hati

 Bayangan nya yang berkelebat besar ditanah menunjukan betapa keduanya terbang rendah sekali. Aku dan Henry yang shock sekaligus penasaran menegakkan kepala kami serentak, berusaha mencari tahu. Tepat saat itu terlihat sebuah pesawat jet berwarna coklat sedang mendaki langit dengan ekor yang berasap, sedang yang satu lagi mengejarnya dengan gigih dan melancarkan tembakan yang dalam sekejap mematahkan sayap buruan nya. Pesawat berwarna cokelat yang kehilangan sayapnya itu, kini terjun bebas dengan ekor dan sayap yang mengepul asap. Sempat terjadi letupan kecil dan bagian atas moncongnya terlempar sedang sisa badannya terjun bebas berselimut kobaran api. Berputar dahsyat sebelum akhirnya terjerembab keras dan meledak di pinggir danau, menimpah dan meluluh lantak
kan sebuah rumah kecil ber dinding kayu dan beratap merah yang telah bertahun tahun berdiri bangga disana.

Dengan mata berkaca kaca, kuberlari nekat menyusuri aspal panas. Kebisingan dan dentuman makin menggila di kejauhan, namun mana ku perduli. Kuderap sekencang kencang nya langkah ku, pipi sudah banjir basah. Bubungan asap pekat itu makin terlihat jelas, rumah yang terlalap api itu makin nampak dekat. Lari ku makin berat. Ayunan di bawah pohon itu hangus bersama sandaran nya, serpihan metal yang terjilat api berserakan di beranda da pekarangan. Terlihat moncong besi yang mencuat dari atau ruang tengah yang terburai. Api makin besar. Di balik punggungku, Henry tercepuk cepuk mengejar, berteriak teriak histeris memanggil namaku. Di balik punggung Henry, Ridel terluluh lantakan. Henry berhasil merenggut kerahku yang sudah hamper nekat berlari ke halaman yang berkobar hebat.

” jangan bodoh Rei!!...” teriaknya.

Sulit melukiskan yang kurasakan setelahnya. Air mataku meleleh melihat segala hal yang kumiliki, kini hanya tinggal hangus dan jelaga nya saja.traktor biru ayah, ayunan di halaman, kandang ternak kami, seluruh keluargaku, semuanya. carut marut tanpa sisa, membara di telan api. Kaki ku kehilangan daya, dan meski perasaanku hancur lebur namun anehnya tidak sedikit pun keluar suara tangisan dari mulut ku, seolah tercekat di tenggorokan. Hingga dadaku terasa sesak karena nya. Bahu kecil ku bergetar hebat, seperti di runtuhi ber ton-ton beban, tanpa bisa berbuat suatu pun, bahkan sekedar merangkak pun tidak mungkin. Henry hanya terdiam. Suara suara berdentum masih bersahutan di kejauhan.
Akhirnya tuhan bermurah hati, tangisku pecah, pecah sekeras nya. Aku baru kelas 6 SD hari itu. Yatim piatu seketika, kehilangan segala hal dalam tempo yang amat singkat.  Sulit untuk menceritakan perasaanku hari itu. Aku bahkan tidak terpikir nasib keluarga Henry, dan dia tetap menemaniku hingga akhir nya berhasil menyeretku yang masih shock ke pusat desa. Keluarga Henry selamat.

Tentara Eurasia datang 4 jam setelahnya. Dengan barisan truk besar dan pesawat angkut yang besar besar juga. Jalan raya di ujung desa di tutup, jalan besar di sekitar hamparan desa yang panjang berubah fungsi menjadi landasan darurat. Ridell di evakuasi. Abang nya Henry gugur 3 hari kemudian. Seorang tentara mengantarkan kotak berisi barang barang peninggalan nya, serta surat bela sungkawa dari Negara, 1 dari ratusan ribu lembar surat yang melayang ke pangkuan orang-orang tua yang malang, dalam pertempuran yang berlangsung 300 hari itu. Keluarga Henry berniat mengadopsiku, namun kutolak karna hari itu niat ku sudah bulat.

1 minggu setelahnya, aku berpamitan dengan keluarga itu. Henry dan ayah ibunya serta kakak adik nya yang lain berniat pindah ke bagian barat, bersama famili jauh mereka. Ayah nya membantu ku naik ke truk pengungsi khusus anak-anak yatim piatu korban perang. Panti asuhan Negara akan berusaha menampung kami, dan kesanalah kami menuju. Sekeluarga itu menangis sewaktu truk mulai berjalan, ayah Henry adalah teman kecil Ibuku. Dan di tengah truk besar yang sempit dan berguncang itu lah masa depan ku bermula.

                                                *****

Dengan mata yang lelah, ku tekan panel “terbitkan” di blog. Teman sekamarku Leon, masuk ketika catatan kecilku tadi selesai terbit.

” jadi toh, menulis blog nya” Tanya nya, seraya meraih pakaian lengkapnya.
” iya, Kris menulis
surat tiap hari ke pacar nya, kupikir kenapa nggak kan”.  Jawab ku.
“ terserah sih, lumayan juga kok, dari pada bengong”
” oh iya, laptop nya gimana neh?”
” matikan saja”
“ oke”.

selesai berpakaian, kami bergegas keluar, menyusuri lorong sempit, menuruni tangga besi. Teman teman yang lain sudah berkumpul di hangar, di ujung lain terlihat kesibukan dari ratusan orang berseragam dengan warna yang beragam. Kami bertukar hormat. Dan langsung memanjat masuk ke kokpit. Ku kencanga helm selagi Lift menjujungku kami naik.

terdengar seruan di earphone. ” Flight lead, disini menara pengawas, apakah penerimaan suara cukup  jelas? ganti”.

” disini Dead Echo 1, jelas sekali, menara. Mohon saran untuk hari ini” jawabku.

” Angin berhembus stabil di 2.5 knot, cuaca cukup cerah. Armada 22 berpatroli di kordinat yang dekat dengan titik Rally kalian, sampaikan salam jika berpapasan ya”

” baiklah menara, system check, all green. Thruster potensi penuh. Rentang sayap dan respon sirip ok. Selesai”
” diterima Dead Echo, Save Trip”

Kru landasan menyambar radio setelahnya “ Pelontar siap, tenaga penuh. Waspada angin di haluan anak2”.

” diterima. Dead Echo 1, Take Off!” Kulepaskan Rem turbin seketika, dan memompa penuh mesin jet. Ketapel di roda depan beringas menyeret ku. Dengan satu tarikan konstan kuangkat pesawat naik dan segera bergeser jalur kearah aman di sirip kiri kapal.

” disini dek terbang, prosedur selesai. Good luck Skipper”
” Echo 1 disini, diterima. Selesai “.
Leon dan yang lain nya menyusul, kami sudah berarak dalam formasi anak panah 15 menit kemudian. Tac-Map menggarisi semua Titik Rally patroli kami hari ini. 10 tahun telah lewat sejak insiden kudeta 300 hari itu. Eurasia terbelah menjadi Eurasia dan Uni Teiria-Prima. UTP kembali mencari gara-gara. Kami pun lulus dini dari akademi dan maju ke garis depan bersama veteran lain nya. Soal apa dan mengapa, simpan untuk bab lain nya dulu.